
Wacana Bank Indonesia (BI) menerapkan sistem Payment ID berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) mulai 17 Agustus dinilai berisiko.
Wacana Bank Indonesia (BI) menerapkan sistem Payment ID berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) mulai 17 Agustus dinilai berisiko besar terhadap privasi dan keamanan data masyarakat. Pemerintah harus memperkuat fondasi perlindungan data terlebih dulu sebelum mengimplementasikan sistem yang mengintegrasikan seluruh data transaksi keuangan tersebut.
Dalam sebuah riset, ekonom dan pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat menganalogikan sistem ini seperti mengganti banyak kunci dengan satu master key untuk seluruh penghuni apartemen. Meskipun praktis, jika kunci utama itu jatuh ke tangan yang salah, seluruh keamanan dan privasi penghuni akan terancam.
“Analogi ini menggambarkan risiko utama sistem Payment ID: jika data terpusat tidak diamankan dengan baik, seluruh privasi dan keamanan finansial warga negara bisa terancam dalam sekejap,” kata Achmad dalam risetnya, dikutip Jumat (8/8/2025).
Achmad mengakui bahwa Payment ID memiliki niat baik, yaitu untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan pengawasan transaksi keuangan guna mencegah kejahatan finansial dan menertibkan pajak. Namun, ia menyoroti bahwa Indonesia belum memiliki infrastruktur keamanan data yang kokoh.
Sejarah telah menunjukkan bahwa data pribadi WNI pernah bocor melalui berbagai insiden siber. Jika Payment ID diterapkan tanpa perlindungan yang memadai, risiko kebocoran data akan jauh lebih besar karena seluruh rekam jejak transaksi keuangan setiap individu akan terpusat.
Achmad juga memperingatkan potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) jika Payment ID diimplementasikan tanpa regulasi yang kuat. Pengalaman negara lain, seperti India dengan Aadhaar dan Tiongkok dengan Social Credit System, menunjukkan bahwa integrasi data yang masif bisa digunakan untuk mengontrol warga atau melanggar hak privasi.